Me_sulis

Monday, May 14, 2012

Menelusur Jalur Patah Hati - Pangandaranaway Episode 4

Jalur Pesisir Selatan Jawa Barat dari Pangandaran ke Sindangbarang

Pangandaranaway 6-8 April 2012 Episode 4

Masih di hari yang sama, Sabtu 7 April 2012. Lewat pukul 16:00 petang, Saya, Pak Ija, Icay, Tanto dan boncenger, mulai memacu motor masing-masing menuju Cimerak. Kami akan melewati Jalur Patah Hati, saya sebut begitu, karena dari lebih 20 peserta yang ikut Acara Pangandaranaway ini, hanya 4 rider yang mau lewat jalur ini. Apalagi semua sudah mendengar, rekan-rekan yang lewat jalur ini kemarin datang lebih lama 5 jam hingga 7 jam karena kondisi jalan yang buruk. Rekan Tanto adalah salah satu yang kemarin melewati jalur ini lewat Garut.

Hujan yang rintik semakin menderas. Posisi saya di depan, dengan asumsi laju saya tidak akan terlalu cepat, diikuti Tanto lalu Icay dan terakhir Pak Ija. Jalan beton lebar Cijulang Cimerak sebenarnya agak menggoda untuk menambah kecepatan. Namun turunnya hujan cukup menjadi halangan. Penglihatan menjadi terbatas. Dilema menutup kaca helm akan mengembun atau dibuka dapat terpaan hujan di wajah, membuat saya memilih membuka kaca helm, meski demikian pandangan memang jadi terbatas dalam melihat rintangan jalan.

Dalam guyuran hujan, kecelakaan tak dapat dihindarkan. Tepat di Jembatan Sungai Cibening, saya melihat lubang besar tepat pada lajur saya dan hamparan kerikil besar. Tak ada waktu untuk menghindar karena saat itu tepat berpapasan dengan mobil di lajur lain. Spontan saya menekan tuas rem depan dan belakang tanpa memperhitungkan posisi motor Tanto yang lumayan dekat di belakang saya. Motor dapat saya kendalikan meliwati celah tengah antara lobang dan hamparan kerikil, namun tidak demikian dengan motor Tanto. Serta merta melihat saya mengerem agak mendadak, Tanto mencoba menahan laju motornya secara spontan pula. Motor tak mampu dikendalikan karena melewati hamparan kerikil dan masuk ke lobang. Mega Pro bernama Cobra itu terjungkal ke sisi jalan setelah roda depan masuk ke lobang.

Saya sempat mendengar derit roda menyapu kerikil dan suara motor jatuh. Saya segera berhenti di atas jembatan Cibening, begitu pula yang lain. Dada seketika berdegup melihat rekan kami bersama boncenger Sang Istri tergeletak di sisi jalan. Tanto segera bangkit menolong Sang Istri yang tampak kesakitan. Kami tanyakan bagian mana dari tubuh yang terasa sakit. Dia menjawab dengan cara memegang salah satu lengannya. Yakin atas jawabannya, kami mengangkat istri Tanto ke tepian jalan.

Dalam hati saya berdoa, semoga tidak ada luka yang fatal. Namun istri Tanto tiba-tiba tak sadarkan diri. Kami bangkit bertanya di mana tempat pengobatan terdekat pada penduduk yang mencoba ikut menolong. Satu mobil pick-up saya berhentikan dan saya minta mengantar korban. Agak ragu Sang Sopir mobil pengangkut kayu mengangguk. Dan kami semua menuju tempat pengobatan, seorang dokter yang berpraktek di rumahnya.

Alhamdulillah, tidak ada luka fatal maupun luka dalam, kemungkinan syok akibat motor terjatuh. Tukang urut juga dipanggil untuk menolong Istri Tanto.

Hujan semakin deras, petir menggelegar seakan ingin memecah bumi. Si Empunya rumah adalah orang yang baik hati, kami disuguhi penganan dan teh hangat. Rekan Tanto memutuskan untuk kembali ke arah Banjar dan bersikeras agar kami tetap melanjutkan perjalanan ke arah Cipatujah. Kami setuju dan sepakat untuk terus lewat lintas pantai selatan. Ketika hari mulai gelap dan hujan tetap enggan pergi, saya, Pak Ija dan Icay meninggalkan Tanto dan Istri yang masih berteduh di rumah dokter. Saya merasa agak lega karena tidak terjadi sesuatu yang fatal.

Meski hujan menerpa tubuh dan wajah, kami lanjut ke arah barat menuju Cikalong. Selepas Cimerak, kondisi jalan mulai tidak bersahabat. Jalur rusak dan bongkahan batu tampak di sisi dan badan jalan. Hati-hati kami melewati jalan raya Kalapa Genep ini yang kadang naik dan menurun tajam. Air turut mengalir di tengah jalan sejajar roda motor. Kondisi jalan sangat gelap hanya diterangi lampu-lampu kendaraan yang lewat.

Badan saya sudah basah kuyup meski memakai jas hujan dan dingin mulai menyiksa. Kecepatan kendaraan hanya berkisar 20-40 km perjam. Sulit memastikan kondisi jalan yang agak lumayan karena badan jalan berlobang digenangi oleh air. Sesekali kami harus berhenti memberi jalan pada kendaraan yang berpapasan. Saya sempat mengisi tangki dengan eceran guna mengantisipasi kekurangan bahan bakar yang kian menipis.

Sebelum masuk Cikalong, kami istirahat di warung kecil sekedar menghangatkan badan sambil mereguk segelas kopi. Waktu menunjukkan lewat pukul 8 malam. Rasa lapar terasa menggelitik perut. Tapi dari tadi memang belum terlihat ada warung makan. Selagi istirahat, saya sempatkan mengganti pakaian dan melapisi tubuh dengan jaket. Lanjut dari situ sampai juga di Cikalong. Di SPBU pada jalan menuju Cipatujah, kami mengisi penuh tangki motor.

Tak lama setelah SPBU ada warung makan kecil di kiri jalan, kesempatan isi perut dan menghangatkan badan. Setengah jam beristirahat, perjalanan kami lanjutkan. Jalur Cikalong - Cipatujah kondisinya juga parah seperti sebelumnya. Badan jalan berlobang dan terkadang bagai seperti diparut roda traktor. Sulit sekali mengendalikan roda motor pada parut yang sejajar arah jalan. Hampir 3 jam kami tempuh untuk sampai Cipatujah.

Kota kecil Cipatujah di selatan Tasikmalaya ini mulai memperlihatkan kerlip lampunya. Hujan mulai mereda namun kota ini tampak sepi. Dari sini jalan menuju Cibalong tampak menghitam seperti aspal baru. Garis jalan masih terlihat putih terang. 2 rekan saya mulai memelintir handel gas dan melaju bak kesetanan. Wah, saya hanya melihat dua lampu di kejauhan. Jalan mulus selebar 8 meter ini jadi santapan nikmat setelah tadi disuguhi jalan rusak. Saya biarkan Pak Ija dan Icay menghilang dari pandangan. Saya tidak takut ketinggalan tetap di 80. Saya tahu tujuan saya dan nanti juga ditunggu. 14 km kira-kira panjang jalan dengan tikungan lebar yang asyik buat rebahan motor itu yang dilabas 2 rekan saya.


Memasuki perkebunan Mira Mare Cibalong desa Sancang, kondisi jalan mulus berubah menjadi jalan perkebunan yang penuh tambalan dan lipatan. Tapi masih lumayan dan masih dapat melarikan motor dengan mudah. Dua lampu motor berwarna merah mulai terlihat dan semakin mendekat. Namun suasana perkebunan dan hutan ini lumayan mencekam. Meski Rembulan bersinar menerangi sekitar, mulai terlihat dan terasa, sosok-sosok yang setia menunggui rumah peristirahatan kosong tak berlampu di kiri kanan jalan. Saya mencoba menerangi jalan dengan menyalakan lampu tambahan dan menambah kecepatan. Aneh, biasanya saya begitu sayang motor, tapi kali ini saya biarkan Si Dreamer melompat-lompat di gundukan. Pak Ija dan Icay juga seperti tidak mau mengurangi kecepatan semakin dikejar malah semakin menjauh.



Keluar perkebunan baru keduanya menurunkan kecepatan dan berhenti setelah melewati jembatan Sancang. Waktu 10 menit lagi menjelang tengah malam. Kami mampir di warung kecil memesan kopi sekaligus beristirahat. Kami habiskan sedikit hari yang tersisa mengobrol bersama pemilik warung dan seorang pekerja kontraktor menara komunikasi.


Hari esok akan menjelang.....

Bersambung ke We're not lost, We're on an adventure - Pangandaranaway Episode 5
Kembali ke Batu Karas Kawasan Wisata Alternatif Pangandaran - Pangandaranaway Episode 3

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Dedicated for Nusantaride | Designed by Info Mancing