Me_sulis

Monday, May 14, 2012

Curug Ayang - Pangandaranaway Episode 6

Keramahan Cianjur dan Pesona Air Terjun di Pegunungan yang sejuk

Pangandaranaway 6-8 April 2012 Episode 6

Setengah dua belas siang, Nusantara Riders meninggalkan halaman parkir menuju jalan raya lalu belok kiri mengarah ke Cianjur. Cuaca terasa panas dan aspal bagai menguap. Jalan kadang lurus dan kadang berliku mengikuti bentuk Sungai besar Cisadea yang ada di sisi kiri. Pak Ija belum lagi tampak di belakang. Saya dan Icay menepi sambil bercakap-cakap.
"Berapa lama lagi sampai Cianjur?" tanya saya pada Icay.
"Paling 1 jam lagi Pak!" jawabnya.
Walau hanya sebagian wajahnya yang terlihat tapi saya yakin teman saya ini tersenyum atau bahkan cengengesan sepertinya. Ah bodohnya saya bertanya seperti itu, meski masih 1 hari lagi ke Cianjur pasti tetap akan saya jalani.

Pak Ija sudah kembali bergabung. Berkendara dengan roda dua di cuaca panas seperti ini malah membuat mata saya berat. Rasa kantuk yang amat sangat menyulitkan untuk berkonsentrasi. Di Cisalada saya melihat rambu besar hijau petunjuk arah, terbaca jelas, Cianjur 98 KM. Saya tertawa dalam hati mengingat canda Icay tadi, sesuatu yang tak mungkin menempuh jarak sepanjang itu pada jalan berliku yang melewati pegunungan dan membelah hutan dalam 1 jam.

Jalanan terus menanjak dan menanjak, sungai yang mengikuti kami berpisah entah dimana. Panas pesisir berganti dengan kesejukan hawa pegunungan. Seketika saya merasakan tubuh kembali segar. Melihat pepohonan hijau dan bentukan alam yang kokoh yang kami sebut gunung. Semangat saya kembali bangkit memacu motor yang tadi berkali-kali disusul oleh gadis-gadis berkendara matic yang boncengan bertiga.

Icay seperti anak yang tak mau kehilangan ayahnya, menempel rapat motor di depannya. Ah sayang, baterai kamera belum sempat di-charge, jadinya keasyikan berpacu keduanya tidak sempat saya rekam. Satu, dua gunung sudah kami lewati dan kini jalan cenderung menurun. Dan tibalah kami pada sebuah jembatan besar yang membentang di atas sungai Cibuni.



Pak Ija menunjukkan sebuah curug kecil (jeram) agak tersembunyi kira-kira 30 meter dari jembatan ke arah hulu. Saya tidak tahu nama jeram ini, karena tidak ada penduduk sekitar situ. Setelah puas foto-foto di lokasi sungai Cibuni, kami terus menelusuri jalan Cibinong Pagelaran yang bersisian dengan tebing. Jalur berliku dan menanjak dengan hawa sejuk.


Tak sampai lima menit perjalanan, tepat di sisi jalan menghadap tebing. Sebuah air terjun mengucurkan airnya yang jernih dari ketinggian sekitar 20 meter. Spontan pasang aksi dan gaya, kami berfoto-foto di sini. Saya sempat bertanya pada orang setempat nama air terjun ini. Curug Sawer, nama yang banyak dipakai oleh air terjun di Jawa Barat. Sudah ada Nusantara Rider lain posting foto Curug ini. Namun kami ingin menggugah rasa keingintahuan teman-teman lain dengan temuan kami berikutnya.


 

 


Rasa lapar kembali mendera. Hujan rintik mulai turun. Beberapa tikungan dari Curug Sawer kami berhenti istirahat makan siang di sebuah tempat makan bernama Warung Mamah Ayang di desa Bojong Petir. Pemiliknya, sepasang suami istri yang sangat ramah menyambut dan menanyakan awal perjalanan kami. Dibantu dua anaknya, laki-laki seusia SMP dan yang perempuan kira-kira baru lulus SMA, mereka dengan cekatan melayani pengunjung yang makan di situ. Sate kambing, gulai dan beberapa menu lainnya menjadi santapan nikmat rider-rider yang kelaparan.


Rekan Icay sesekali mengernyitkan alisnya pada saya ketika Sang Gadis lewat. Oh rupanya ada mahluk manis di warung makan ini. Nama panggilannya singkat saja Ayang, warung makan ini milik ibunya, makanya bernama Warung Mamah Ayang. Dan keramahtamahan mereka belum akan usai. Ketika Pak Ija menanyakan adakah tempat buat kami beristirahat, sungguh tak dinyana, si Ibu segera memerintahkan anak-anaknya untuk menyiapkan ruang tamu rumahnya dan mempersilahkan kami beristirahat.

Agak sungkan juga sebenarnya, kami bertiga sudah merepotkan dengan mencabut semua peralatan listrik untuk dipakai men-charge selular, makan pun belum kami bayar, eh ini malah minta tempat tidur. Tapi itulah ketulusan masyarakat Indonesia pada umumnya yang tercermin pada layanan keluarga Ayang pada Nusantaride. Tentu ini akan kami apresiasi setinggi mungkin kami bisa. Dan memang tubuh saat itu butuh istirahat, 2 jam tidur tentu akan memberi tenaga baru buat kami melanjutkan perjalanan.

Sebelum beranjak dari warung makan ini, tak lupa kami menghaturkan terima kasih atas keramahan keluarga Ayang. Lanjutan perjalanan menjelang maghrib ini adalah menuju Kota Cianjur. Bojong Petir - Sukanagara menuju Cipetir terletak di ketinggian pegunungan. Berkali-kali motor kami harus mendahului truk dan mobil bak pengangkut hasil bumi yang berjalan pelan.



Di sebuah SPBU di Cipetir, motor-motor Nusantara Riders gantian butuh tambahan isi. Sekaligus kami rehat kopi sambil postingan lewat BBM. Aha, koordinat Curug Sawer yang Pak Ija posting sebenarnya adalah Warung Mamah Ayang. Heboh-heboh, jadilah nama curug tersebut menjadi Curug Ayang.

Pukul 21:00 wib, adalah kepulangan kami menuju Jakarta. Rasanya tak ada yang perlu diceritakan karena ini seperti perjalanan biasa. Lalulintas menjelang tutup liburan via jalur Puncak yang ramai. Di Bogor kami sempatkan makan malam sebelum kemudian berpisah. Kami saling bersalaman dan berharap bisa riding bareng lagi suatu saat nanti. Terima kasih buat semua teman-teman Nusantaride yang datang di Event Pangandaranaway. Terima kasih Pak Ija dan Icay, sungguh suatu pengalaman yang sangat berkesan buat saya.

Ride the Archipelago!

Kembali ke We're not lost, We're on an adventure - Episode 5

We're not lost, We're on an adventure - Pangandaranaway Episode 5

Pesisir Selatan Jawa Barat Jalur Seribu Jembatan

Pangandaranaway 6-8 April 2012 Episode 5

Minggu dinihari tanggal 8 April pukul 00.45, tiga motor tiger warna hitam Nusantaride (Silverster, Knight Fox & Dreamer) mulai menderu membelah perkebunan Mira Mare. Jalan berliku menuju Pameungpeuk kami tempuh pada kecepatan rata-rata meski kondisi jalan mestinya dapat ditempuh lebih cepat. Mungkin badan kami telah lelah tapi perjalanan terus lanjut.
Tiba di Pameungpeuk kami agak celingukan menentukan arah simpangan jalan yang harus diambil. Pak Ija tampak melihat-lihat GPS. Tampaknya arah sudah benar dan kami mengarah menuju Cikelet. Sayang ini perjalanan malam hari, padahal ada pantai Santolo di jalur kami.

Dari Cikelet mulailah kami memasuki jalan yang saya sebut Seribu Jembatan karena banyaknya jumlah jembatan yang tak terhitung lagi oleh saya. Kami terus melaju seiring rembulan yang mengikut hingga ke barat.

Cijayana telah dilewati dan karakter jalan Seribu Jembatan mulai berubah. Walau masih dekat dengan pesisir, jalan menuju Jayanti ini banyak diselingi jalan menanjak kemudian menurun menjelang jembatan. Tanjakan dan turunan curam yang sepi kadang kami lalui tanpa menekan pedal rem. Motor yang melompat dan menghempas membuat Knight Fox-nya Icay kewalahan. Dia berjalan pelan sambil mengecek kendaraannya, karena ada bunyi-bunyian seperti bagian motor yang akan lepas. Kami berhenti sebentar mengecek motor Icay, memasang kembali baut braket boks pada rangka yang sudah hilang lepas. Sementara Pak Ija kehilangan mika cover side penutup aki Silverster.

Perjalanan kami teruskan menuju Jayanti. Waktu sudah hampir subuh, kami berjalan pelan menelusur dan akhirnya berhenti di sebuah pos ronda di depan rumah penduduk di Jalan Pelabuhan Jayanti. Tenda lagi-lagi tidak jadi kami buka. Pos ronda ini layak dan dapat dijadikan tempat istirahat tidur. Setelah mengunci motor masing-masing, kami membuka matras dan sebentar saja langsung pulas tertidur.




Pukul 6:00 saya terbangun oleh suara kendaraan dan lalu-lalang orang yang berolahraga pagi. Matahari mulai menerangi Jalan Raya Pelabuhan Jayanti. Rumah-rumah penduduk di belakang Pos Ronda yang kami pakai sudah menampakkan kegiatan rutinnya. Saya temui salah satunya sekaligus menerangkan keberadaan kami di situ. Umumnya mereka malah dengan santun meminta maaf karena tidak mendengar kami datang jadi tidurnya di Pos Ronda. Pak Ija tampak memesan kopi dan gorengan sebagai pengganjal perut. Di tempat ini kami berkenalan dengan Mang 'Ewet' Dadang, sosok figur super ramah warga Jayanti.


Pukul 7:00 mulai start menuju Cidaun, di Cidaun rencana belok ke arah Naringgul terus Ciwidey Bandung batal. Nusantaride terus mengarah ke barat menuju Sindang Barang. Jalan dari Cidaun ke Sindang Barang sebagian masih belum diperbaiki. Tipikal jalan berlobang besar kembali kami temui. Bunyi-bunyian aneh di motor Icay kembali terdengar tapi ketemu juga penyebabnya, ternyata baut pegangan knalpot musti dikencangkan.

Di Sindangbarang, lagi-lagi kami terus ke barat. Rambu hijau besar petunjuk arah jalan terlihat rubuh tergeletak di tepi jalan. Mungkin ini juga kenapa Pak Ija yang ada di depan tidak belok ke kanan arah Cianjur tapi ambil lurus menuju arah Tegalbuleud Sukabumi. Apalagi setelah jembatan Sindangbarang, jalanan tampak mulus dan berliku. Kedua teman saya itu kembali ngacir tanpa dapat saya ikuti. Saya nikmati sendiri perjalanan melewati pemukiman yang lumayan ramai. Karakter jalan yang kadang beton kadang aspal, tikungan dengan kemiringan yang minimal, tinggi permukaan yang berbeda dengan tanah di sekitarnya serta letak pemukiman yang begitu dekat dengan jalan, saya nilai berpotensi dapat menimbulkan kecelakaan.


Sayangnya jalan mulus ini sekitar 10 km-an saja, selanjutnya kondisi jalan rusak ada di hadapan saya. Tampak Icay dan Pak Ija menepi sambil membenahi motor. Perbaikan jalan baru sampai di titik ini. Kemungkinan jalan rusak akan terus kami temui hingga Kiara Dua Sukabumi. Makanya diputuskan kembali ke Sindangbarang dan masuk ke jalur menuju Kota Cianjur. Kendaraan-kendaraan yang lewat situ, rata-rata melihat ke arah kami, demikian juga penduduk sekitar. Mereka mungkin mengira ini klub motor dari Jakarta yang kesasar sampai ke situ. Ah jadi teringat lagi sebuah slogan yang akrab di telinga saya, I'm not lost, I'm on an adventure.


Jadinya kami kembali mengarah ke timur masuk kota Sindangbarang Cianjur Selatan. Di Mesjid Agung Sindangbarang yang terletak di sebelah barat alun-alun kota, roda dua kami parkir untuk beristirahat. Waktu masih pukul 9 pagi lewat sedikit tapi cuaca kota pesisir terasa sangat terik. Kesempatan buat menjemur yang basah oleh hujan tadi malam. Pak Ija tampak menyeting ulang shock roda belakang dan Icay pilih merebah badan. Saya sendiri langsung MCK dan mandi membersihkan badan.

Eh mau kemana lagi kita?

Bersambung ke Curug Ayang - Pangandaranaway Episode 6
Kembali ke Menelusur Jalur Patah Hati - Pangandaranaway Episode 4

Menelusur Jalur Patah Hati - Pangandaranaway Episode 4

Jalur Pesisir Selatan Jawa Barat dari Pangandaran ke Sindangbarang

Pangandaranaway 6-8 April 2012 Episode 4

Masih di hari yang sama, Sabtu 7 April 2012. Lewat pukul 16:00 petang, Saya, Pak Ija, Icay, Tanto dan boncenger, mulai memacu motor masing-masing menuju Cimerak. Kami akan melewati Jalur Patah Hati, saya sebut begitu, karena dari lebih 20 peserta yang ikut Acara Pangandaranaway ini, hanya 4 rider yang mau lewat jalur ini. Apalagi semua sudah mendengar, rekan-rekan yang lewat jalur ini kemarin datang lebih lama 5 jam hingga 7 jam karena kondisi jalan yang buruk. Rekan Tanto adalah salah satu yang kemarin melewati jalur ini lewat Garut.

Hujan yang rintik semakin menderas. Posisi saya di depan, dengan asumsi laju saya tidak akan terlalu cepat, diikuti Tanto lalu Icay dan terakhir Pak Ija. Jalan beton lebar Cijulang Cimerak sebenarnya agak menggoda untuk menambah kecepatan. Namun turunnya hujan cukup menjadi halangan. Penglihatan menjadi terbatas. Dilema menutup kaca helm akan mengembun atau dibuka dapat terpaan hujan di wajah, membuat saya memilih membuka kaca helm, meski demikian pandangan memang jadi terbatas dalam melihat rintangan jalan.

Dalam guyuran hujan, kecelakaan tak dapat dihindarkan. Tepat di Jembatan Sungai Cibening, saya melihat lubang besar tepat pada lajur saya dan hamparan kerikil besar. Tak ada waktu untuk menghindar karena saat itu tepat berpapasan dengan mobil di lajur lain. Spontan saya menekan tuas rem depan dan belakang tanpa memperhitungkan posisi motor Tanto yang lumayan dekat di belakang saya. Motor dapat saya kendalikan meliwati celah tengah antara lobang dan hamparan kerikil, namun tidak demikian dengan motor Tanto. Serta merta melihat saya mengerem agak mendadak, Tanto mencoba menahan laju motornya secara spontan pula. Motor tak mampu dikendalikan karena melewati hamparan kerikil dan masuk ke lobang. Mega Pro bernama Cobra itu terjungkal ke sisi jalan setelah roda depan masuk ke lobang.

Saya sempat mendengar derit roda menyapu kerikil dan suara motor jatuh. Saya segera berhenti di atas jembatan Cibening, begitu pula yang lain. Dada seketika berdegup melihat rekan kami bersama boncenger Sang Istri tergeletak di sisi jalan. Tanto segera bangkit menolong Sang Istri yang tampak kesakitan. Kami tanyakan bagian mana dari tubuh yang terasa sakit. Dia menjawab dengan cara memegang salah satu lengannya. Yakin atas jawabannya, kami mengangkat istri Tanto ke tepian jalan.

Dalam hati saya berdoa, semoga tidak ada luka yang fatal. Namun istri Tanto tiba-tiba tak sadarkan diri. Kami bangkit bertanya di mana tempat pengobatan terdekat pada penduduk yang mencoba ikut menolong. Satu mobil pick-up saya berhentikan dan saya minta mengantar korban. Agak ragu Sang Sopir mobil pengangkut kayu mengangguk. Dan kami semua menuju tempat pengobatan, seorang dokter yang berpraktek di rumahnya.

Alhamdulillah, tidak ada luka fatal maupun luka dalam, kemungkinan syok akibat motor terjatuh. Tukang urut juga dipanggil untuk menolong Istri Tanto.

Hujan semakin deras, petir menggelegar seakan ingin memecah bumi. Si Empunya rumah adalah orang yang baik hati, kami disuguhi penganan dan teh hangat. Rekan Tanto memutuskan untuk kembali ke arah Banjar dan bersikeras agar kami tetap melanjutkan perjalanan ke arah Cipatujah. Kami setuju dan sepakat untuk terus lewat lintas pantai selatan. Ketika hari mulai gelap dan hujan tetap enggan pergi, saya, Pak Ija dan Icay meninggalkan Tanto dan Istri yang masih berteduh di rumah dokter. Saya merasa agak lega karena tidak terjadi sesuatu yang fatal.

Meski hujan menerpa tubuh dan wajah, kami lanjut ke arah barat menuju Cikalong. Selepas Cimerak, kondisi jalan mulai tidak bersahabat. Jalur rusak dan bongkahan batu tampak di sisi dan badan jalan. Hati-hati kami melewati jalan raya Kalapa Genep ini yang kadang naik dan menurun tajam. Air turut mengalir di tengah jalan sejajar roda motor. Kondisi jalan sangat gelap hanya diterangi lampu-lampu kendaraan yang lewat.

Badan saya sudah basah kuyup meski memakai jas hujan dan dingin mulai menyiksa. Kecepatan kendaraan hanya berkisar 20-40 km perjam. Sulit memastikan kondisi jalan yang agak lumayan karena badan jalan berlobang digenangi oleh air. Sesekali kami harus berhenti memberi jalan pada kendaraan yang berpapasan. Saya sempat mengisi tangki dengan eceran guna mengantisipasi kekurangan bahan bakar yang kian menipis.

Sebelum masuk Cikalong, kami istirahat di warung kecil sekedar menghangatkan badan sambil mereguk segelas kopi. Waktu menunjukkan lewat pukul 8 malam. Rasa lapar terasa menggelitik perut. Tapi dari tadi memang belum terlihat ada warung makan. Selagi istirahat, saya sempatkan mengganti pakaian dan melapisi tubuh dengan jaket. Lanjut dari situ sampai juga di Cikalong. Di SPBU pada jalan menuju Cipatujah, kami mengisi penuh tangki motor.

Tak lama setelah SPBU ada warung makan kecil di kiri jalan, kesempatan isi perut dan menghangatkan badan. Setengah jam beristirahat, perjalanan kami lanjutkan. Jalur Cikalong - Cipatujah kondisinya juga parah seperti sebelumnya. Badan jalan berlobang dan terkadang bagai seperti diparut roda traktor. Sulit sekali mengendalikan roda motor pada parut yang sejajar arah jalan. Hampir 3 jam kami tempuh untuk sampai Cipatujah.

Kota kecil Cipatujah di selatan Tasikmalaya ini mulai memperlihatkan kerlip lampunya. Hujan mulai mereda namun kota ini tampak sepi. Dari sini jalan menuju Cibalong tampak menghitam seperti aspal baru. Garis jalan masih terlihat putih terang. 2 rekan saya mulai memelintir handel gas dan melaju bak kesetanan. Wah, saya hanya melihat dua lampu di kejauhan. Jalan mulus selebar 8 meter ini jadi santapan nikmat setelah tadi disuguhi jalan rusak. Saya biarkan Pak Ija dan Icay menghilang dari pandangan. Saya tidak takut ketinggalan tetap di 80. Saya tahu tujuan saya dan nanti juga ditunggu. 14 km kira-kira panjang jalan dengan tikungan lebar yang asyik buat rebahan motor itu yang dilabas 2 rekan saya.


Memasuki perkebunan Mira Mare Cibalong desa Sancang, kondisi jalan mulus berubah menjadi jalan perkebunan yang penuh tambalan dan lipatan. Tapi masih lumayan dan masih dapat melarikan motor dengan mudah. Dua lampu motor berwarna merah mulai terlihat dan semakin mendekat. Namun suasana perkebunan dan hutan ini lumayan mencekam. Meski Rembulan bersinar menerangi sekitar, mulai terlihat dan terasa, sosok-sosok yang setia menunggui rumah peristirahatan kosong tak berlampu di kiri kanan jalan. Saya mencoba menerangi jalan dengan menyalakan lampu tambahan dan menambah kecepatan. Aneh, biasanya saya begitu sayang motor, tapi kali ini saya biarkan Si Dreamer melompat-lompat di gundukan. Pak Ija dan Icay juga seperti tidak mau mengurangi kecepatan semakin dikejar malah semakin menjauh.



Keluar perkebunan baru keduanya menurunkan kecepatan dan berhenti setelah melewati jembatan Sancang. Waktu 10 menit lagi menjelang tengah malam. Kami mampir di warung kecil memesan kopi sekaligus beristirahat. Kami habiskan sedikit hari yang tersisa mengobrol bersama pemilik warung dan seorang pekerja kontraktor menara komunikasi.


Hari esok akan menjelang.....

Bersambung ke We're not lost, We're on an adventure - Pangandaranaway Episode 5
Kembali ke Batu Karas Kawasan Wisata Alternatif Pangandaran - Pangandaranaway Episode 3

Batu Karas Kawasan Wisata Alternatif Pangandaran - Pangandaranaway 6-8 April 2012 Episode 3

Pesona Pantai Batu Karas Cijulang

Pangandaranaway 6-8 April 2012 Episode 3

Sabtu 7 April 2012 pukul 07:00, saya terbangun mendengar suara rekan Mbot Gunawan yang rupanya baru saja tiba. Saya segera bergegas menuju ke kamar mandi membersihkan badan dan menemui Nusantara rider lain.

Bersama-sama beberapa rekan, langsung saja saya ke Pantai Batu Karas untuk melihat keindahan panorama alam yang tersaji di sini. Pada musim libur panjang, Pantai Batu Karas ramai dikunjungi wisatawan lokal dari kota. Tidak mengapa, kami pun berbaur dengan pengunjung lain menikmati kesejukan air laut dan memandangi ombak yang bergulung-gulung dan akhirnya menerpa pasir hitam di pantai. Beberapa rekan bahkan mencoba merenangi perairan dengan papan seluncur dan naik wahana permainan aksi Banana Boat yang dikelola penduduk sekitar.


Saya foto-foto saja keindahan sekitar dan kemudian menuju warung makan kecil bersama rekan-rekan untuk sarapan. Menu mie instan rebus cukuplah buat mengganjal perut di pagi itu. Makan sambil memandangi keindahan laut, dua kepuasan yang berbeda yang jarang kami satukan di tempat tinggal kami. Canda dan obrolan saling mengakrabkan satu sama lain.


Matahari mulai naik, terik pantai terasa menghangatkan kulit. Ada panggilan untuk kembali kumpul di homestay. Setelah hampir semua berkumpul kemudian rekan Rangga Bachri menyampaikan rasa terima kasih dan salut kepada teman-teman yang hadir pada acara Pangandaranaway ini. Yang diteruskan oleh Pak Ija mengenai acara gathering yang akan datang yang rencananya diadakan masih di Pulau Jawa dengan pola acara yang berbeda, yakni mengedepankan kepedulian sosial bagi masyarakat sekitar. Keseluruhan yang hadir setuju dengan rencana tersebut dan setuju pula jika nantinya akan dibentuk kepanitiaan yang melibatkan teman-teman Nusantaride.

 
 

Buat saya, rencana tersebut akan menjadi satu momen yang baik bagi Nusantaride dan selayaknya dikemas secara lebih terorganisir dalam sebuah tim.

Sebelum tengah hari, sambil menunggu saat kepulangan sore hari nanti, beberapa rekan memilih membenahi bawaan mereka dan beberapa ada yang akan mencoba track menuju Batu Nunggul. Batu Nunggul adalah sebuah pantai tersembunyi yang indah yang ditandai oleh sebuah monumen alam berupa batu karang yang berdiri tegak di depan pantai. Sayang saya tidak ikut, ada agenda lain, apalagi kalau bukan makan siang dan sekalian mau lihat jembatan Bambu yang diinfokan di FB Group Nusantaride.


Bersama rekan Pram, saya mengarah ke luar lokasi. Terlebih dulu saya bertanya dimana letak jembatan bambu tersebut di gerbang tiket Kawasan Batu Karas. Kami langsung bergerak menuju tempat yang dimaksud. Benar, ternyata ada jalan pintas yang dibuat untuk kebutuhan masyarakat sekitar yang akan ke Cijulang atau sebaliknya. Tadinya saya mau menjejaki dulu dengan kaki, namun melihat ada beberapa motor lalulang melintasi jembatan itu, jadi saya putuskan menelusurinya langsung menggunakan motor.

Awalnya agak ngeri juga melihat jembatan sepanjang -+30 meter dengan lebar 2 meter lebih yang terbuat dari anyaman bambu yang diikat pada tali baja ini melintasi sungai Cijulang yang airnya sedang banjir saat itu. Motor kami memakai boks di kiri kanan, cukup sempit jadinya lintasan ini. Perlahan mulai saya susuri jembatan itu dengan kecepatan rendah dan konstan, begitu sampai tengah, terasa aliran adrenalin saya menjalari sekujur badan ketika melihat arah samping sungai lebar berair deras. Saya fokus ke depan dan melaju hingga sisi lain jembatan. Rekan Pram juga tampak lancar melintasi jembatan unik ini. Saya teringat jembatan di Sawarna, secara panjang memang lebih jauh lintasan ini namun menurut saya Jembatan Gantung di Sawarna lebih mendebarkan karena lintasannya terbuat dari papan sehingga lebih mudah mengayun. Sementara jembatan Batu Karas - Cijulang ini terbuat dari anyaman bambu yang fleksibel meredam guncangan.


Dari lokasi jembatan, kami terus melaju menuju Gerbang Pemberangkatan ke Green Canyon (Cukang Taneuh). Rupanya saat itu Wisata Green Canyon sedang tutup karena hulu sungai Cijulang banjir akibat hujan sepanjang malam tadi. Kami memang tidak berniat ke situ tapi ingin menikmati makan siang di warung makan yang terletak di parkiran. Menu goreng ikan, tahu dan sambal pedas menjadi santapan nikmat siang itu.


Kami kembali ke homestay, tampak beberapa telah siap untuk meninggalkan Batu Karas. Sambil menunggu rekan-rekan Nusantara Rider lain bersiap, kami berdikusi soal kepulangan. Ada wacana untuk menelusur Jalur Kepulangan melewati Jalur Pantai Selatan Jawa Barat. Jadinya rombongan akan terpecah dua, satu melewati jalur reguler lewat Ciamis - Bandung - Jakarta dan satu group lagi akan menyusur jalur pantai selatan. Saya ikut group menyusur lintas pantai bersama Pak ija, Icay dan Tanto.

Motor-motor Nusantara rider yang berbagai jenis itu telah siap meninggalkan homestay. Saya sengaja start lebih dulu dengan maksud ingin mengambil gambar video kepulangan kami dari Batu Karas. Hujan mulai turun rintik-rintik. Saya menunggu di setiap tikungan jalan yang akan di lewati. Memasuki jalan menuju Jembatan Bambu Sungai Cijulang, saya mendahului antrian agar bisa mendapat gambar yang bagus. Turunnya hujan saat itu membuat saya sedikit khawatir terhadap licinnya lintasan anyaman bambu. Alhamdulillah semua dapat sampai ke seberang dengan selamat.


Dari sini group Nusantaride mengambil jalurnya masing-masing. Jalur reguler berbelok ke kanan dan lintas pantai selatan berbelok ke kiri.

Semoga selamat sampai tujuan teman-teman...

Bersambung ke Menelusur Jalur Patah Hati - Pangandaranaway Episode 4
Kembali ke Membuka Hari di Wado Malangbong - Pangandaranaway Episode 2

Friday, May 4, 2012

Membuka Hari di Wado Malangbong - Pangandaranaway Batu Karas Episode 2

Keindahan Dataran Tinggi Cikareo pada jalur Wado - Malangbong

Pangandaranaway 6-8 April 2012 Episode 2

Jum'at pagi 6 April 2012 pukul 6.15, Kota Sumedang sudah mulai ramai. Penjaja asongan terlihat berebut naik bis antar kota yang tertahan di lampu merah. Saya melaju terus di jalan Prabu Tajmalela yang mengarah ke jalur alternatif Wado - Malangbong. Di ujung pertigaan jalan ini, persis sebelum belok ke kiri arah Situraja. Saya stop di Kios Tambal Ban untuk cek tekanan angin roda depan. Si bapak untungnya mau juga saya minta untuk memeriksa kenapa ban depan motor saya selalu minta diisi. Alhamdulillah ketemu juga penyakitnya, rupanya pentil ban sudah patah minta diganti.

Selesai penggantian pentil roda depan, mata saya tidak dapat kompromi lagi. Saya tanya sama bapak penambal ban, siapa pemilik bangku panjang di pinggir warung, saya mau pakai buat istirahat tidur. Eh si bapak malah bilang, kalau mau tidur di warung kosong sebelah kios saya saja pak. Saya longok warung Tahu Sumedang tak berpintu yang ditunjuk oleh si bapak, aha, ternyata ada bale beralas tikar dan bantal kumal. Tak lupa berterima kasih pada si bapak, saya segera mengunci motor, membuka matras lalu rebah di bale warung itu. Sebentar saja, saya sudah terbuai mimpi.

Kira-kira 2 jam kemudian saya terbangun, sebotol air mineral habis untuk minum, berkumur, dan membasuh muka. Saat itu saya lihat, sebuah Pulsar Merah menderu dan menikung menuju Situraja. Sepertinya motor yang saya kenal. Semangat saya bangkit seketika, segera saya bersiap-siap, pakai helm dan sarung tangan. Motor saya nyalakan dan mulai melaju mengarah Kota Wado.

Siang menjelang dan langit tampak cerah. Pulsar warna merah yang saya yakin pemiliknya adalah Haryo Widodo tampak terlihat berkendara dengan boncengernya. Kebetulan di SPBU Situraja, mereka berhenti. Saya pun ikut pula berhenti. Kesempatan istirahat stop di SPBU seperti biasa saya manfaatkan untuk sekalian membersihkan badan. Ngobrol sebentar dengan Haryo dan berkenalan dengan boncengernya lalu saya pamit ke warung kopi di seberang SPBU mencari segelas kopi dan menghabiskan sebatang rokok. Saat itu saya lihat, 2 Nusantara Rider tampak pula masuk ke area SPBU. Rangga 'eRBe' Bachri plus boncenger dan Cahyadi 'Icay'Yusuf.


Saya kembali masuk ke SPBU, menyapa rekan-rekan dan berkenalan dengan boncenger RB. Meski ketemuan juga di sini dan memiliki tujuan yang sama, kami tetap bersepakat meneruskan perjalanan sendiri-sendiri. Haryo duluan meninggalkan kami, kemudian saya pamit jalan meninggalkan RB dan Icay.


Seperti Cagak - Sumedang, jalur alternatif Wado - Malangbong juga menyajikan pemandangan indah. Saya sempat berhenti sebentar mengambil gambar di ketinggian Cikareo sebelum lanjut ke tujuan.


Masuk Malangbong pada Jalur Selatan menuju Jawa Tengah, waktu telah menunjukkan pukul 11 siang dan lalulintas tampak dipadati kendaraan-kendaraan besar. Jalan yang menanjak menghambat laju kendaraan sejenis bis dan truk. Jalur cukup lebar sehingga roda 2 leluasa menyalip dari sisi kanan antrian. Cuaca mulai terik saat memasuki Kota Tasikmalaya, saya pilih lintas Cihaurbeti melabas jalan lebar menuju Ciamis.


Hujan mulai turun rintik-rintik pada awalnya, saya terus saja tanpa menghiraukan air yang jatuh membasahi pakaian. Kadang hujan berhenti sebentar lalu turun lagi agak deras. Saya putuskan beristirahat makan siang di sebuah warung nasi kecil di daerah Karang Mulyan. Satu jam saya habiskan untuk isi perut sambil menunggu hujan reda.

Motor kembali melaju di jalan mulus Ciamis Banjar, rombongan panjang klub-klub motor dari arah barat tampak pula mulai melintas ke arah timur. Saya berusaha ambil jarak untuk mendahului atau didahului oleh iring-iringan roda dua tersebut. Lengking klakson dan acungan jempol menjadi tanda salam dan keakraban.

Mendekati Kota Banjar, air kembali turun membanjiri tanah dan jalan yang saya lewati. Sisi selatan Jawa Barat rupanya memang sedang diliputi awan namun hujan turun secara berkala, kadang deras, kadang rintik. Saya kembali menepi untuk berteduh di tempat cucian motor. Kondisi hujan seperti ini membuat ragu pengendara roda 2 seperti kami untuk mengganti jaket dengan jas hujan. Rekan Haryo kebetulan ikut menepi pula di situ sebentar dan kemudian melanjutkan perjalanan.

Jalan di Kota Banjar tergenang air di sana-sini. Melewati Banjar kembali hujan turun, saya pilih untuk kembali menepi. Dan rupanya saya terkecoh juga oleh ulah hujan ini dimana dalam perjalanan menuju Banjarsari, tiba-tiba air bak ditumpahkan dari langit dan membuat saya basah kuyup. Tanggunglah, pikir saya, sembari terus melaju melawan derasnya hujan.

Di Banjarsari saya berhenti mengganti pakaian yang basah. Rekan RB, Icay, dan Haryo yang beberapa kali berpapasan mungkin sudah sampai di Pangandaran. Badan kembali hangat setelah mereguk kopi dan rasa ingin sampai membuat saya segera tancap gas menuju Pangandaran.


Tiba di gerbang Pangandaran sore itu, langit agak mendung tapi masih terlihat terang. Saya putuskan masuk Kawasan Wisata Pangandaran dan menghidupkan kamera GoPro milik om Yance yang terpasang pada helm. Rute jalan pantai timur lalu pantai barat sampai kembali ke pintu keluar dan lanjut menuju Cijulang.

Jalan Raya Cijulang kondisinya tidak seperti kunjungan saya yang lalu, lubang-lubang besar bagai perangkap menahan laju kendaraan yang melintas. Berkali-kali saya meliuk-liukan tubuh memilih badan jalan yang masih baik. Di selatan mendung tampak gelap. Hujan pasti akan turun, pikir saya. Untungnya jalan ke depan lumayan bisa buat menambah kecepatan. Sisi kanan jalan hancur tapi sisi kiri jalan masih mulus. Saya larikan motor secepat saya bisa demi mendahului hujan yang kemungkinan akan turun.

Selepas maghrib akhirnya sampai juga di kawasan wisata Batu Karas, saya lebih dulu menemui Icay di Bale Karang Cottages, tempat RB & Haryo menginap. Rasa lapar harus kami tahan lebih lama karena hujan mulai turun. Setelah reda barulah kami menuju resto tempat teman-teman Nusantaride berkumpul dan makan malam. Sepiring Nasi Goreng Seafood tandas ke perut, terasa nikmat makan pada saat lapar.



Sayangnya hujan kembali mengguyur deras dan menunda agenda kami untuk saling tukar pengalaman. Rencana mendirikan tenda pupus, saya pilih bergabung dengan teman-teman saja. Hampir pukul 10 malam, barulah kami semua dapat berkumpul di sebuah Homestay milik Ibu Yati yang terletak di kaki bukit Batu Karas. Ada kabar beberapa rekan Nusantara Rider baru akan tiba sebentar lagi dan bahkan ada yang masih dalam perjalanan menuju Batu Karas. Mudah-mudahan semuanya bisa tiba dengan selamat di lokasi, kami menunggu kedatangan kalian.

Obrolan tukar pengalaman diselingi canda membuat kami jadi asik mendengarkan. Tak terasa jam sudah menunjuk ke pukul 3 dini hari, Kami yang masih tersisa saat itu sepakat mengakhiri percakapan untuk beristirahat, tidur dan melepas penat.

Semoga esok hari akan cerah...

Bersambung ke Batu Karas Kawasan Wisata Alternatif Pangandaran - Pangandaranaway Episode 3
Kembali ke Keindahan Alam Sumedang - Pangandaranaway Episode 1

Keindahan Alam Sumedang - Pangandaranaway Batu Karas Episode 1

Nusantaride Event Gathering ke Batukaras - Pangandaran Ciamis Jawa Barat 6 - 8 April 2012

Pangandaranaway 6-8 April 2012 Episode 1

Dalam mengisi libur panjang di awal April ini, Nusantaride Forum kembali mengadakan gathering bertajuk Pangandaranaway di koordinat Lat: 7°44'57.53"S Lon: 108°29'57.03" pada tanggal 6 - 8 April 2012. Titik temu tersebut bila dilihat pada Google Earth adalah lokasi wisata Batu Karas (Katukaras) di Cijulang Kabupaten Ciamis, sebuah lokasi wisata setelah Pangandaran. Seperti biasa Nusantaride hanya memberikan titik lokasi gathering dan peserta yang akan hadir dapat menentukan sendiri jalur menuju ke tempat tersebut.

Saya sendiri sebelumnya sudah merencanakan untuk keberangkatan ke Pangandaranaway ini akan melewati jalur alternatif yakni Jakarta - Cikampek - Sadang - Subang - Jalan Cagak - Tanjung Kerta - Sumedang - Wado - Malangbong - Tasikmalaya - Ciamis - Banjar - Pangandaran.

Tak ada persiapan khusus untuk acara ini, saya sudah beberapa kali ke Pangandaran dan si Dreamer, tiger hitam yang saya kendarai juga sudah general check up sebelum keberangakatan Ranau Escapade 2 minggu lalu. Jadi tinggal ganti oli saja, cek roda dan rantai, dan siap berangkat. Yang agak riskan justru tekanan ban depan yang selalu berkurang tiap beberapa jam. Untungnya jalur yang saya rencanakan merupakan jalur yang telah beberapa kali saya lewati sehingga tidak ada kekhawatiran tidak menemukan kios tambal ban. Kalau terus-terusan tekanan angin berkurang ban depan yang tubeless ini masih bisa diakali dengan memakai ban dalam.

Kamis tanggal 5 April 2012, tepat pukul 19:00 wib, saya telah siap berangkat langsung dari kantor di daerah Menteng. Rekan Yance yang kali ini absen di acara Nusantaride Pangandaranaway, ikut membantu mengemas tenda pack ke motor saya. Dan brumm... brumm... Dreamer mulai melaju meninggalkan halaman parkir menuju jalan raya.

Jakarta malam itu kurang bersahabat, dari perempatan Menteng Park memasuki jalan HR Rasuna Said merayap hingga Pasar Festival. Saya belok kiri memasuki jalan Casablanca menuju ke arah timur. Makan malam, duduk ngopi dan isi bensin saya lakukan sebelum memasuki Kalimalang. Sengaja saya mengulur waktu berangkat pada saat kemacetan sudah terurai.

Jam 20:00, kembali saya lanjut berkendara menelusur ke arah timur. Dari Jalan Jend. Basuki Rachmat berbelok kanan ke Jalan Revolusi kemudian belok kiri di perempatan Kalimalang. Ah ternyata kurang malam, jalan sejajar sungai ini jam segitu masih juga terlihat padat. Puluhan roda 2 turut mengiringi perjalanan saya hingga masuk Kota Bekasi, antrian panjang roda 4 saya lewati dari sisi kiri. Jalan baru agak senggang setelah Mal Bekasi.

Memasuki libur panjang akses dari Jakarta ke luar kota seperti biasa selalu dipadati kendaraan. Begitu pun lintas Kalimalang ini menunjukkan fenomena serupa. Begitu sampai di Lambang Jaya Bekasi, lalulintas mulai tersendat dan bahkan sampai tak bergerak. Dari arah berlawanan hanya roda 2 saja yang dapat lewat. Terlihat di seberang sungai tampak puluhan motor berjalan perlahan menapaki jalan rusak, wah ini pertanda perempatan Gandasari Cibitung pada akses masuk jalan tol dipadati antrian kendaraan. Makanya saya putuskan balik arah mencari jalan alternatif lain. Mengikuti motor-motor penduduk setempat melewati jalan pintas pemukiman hingga tembus ke Lintas Pantura Tambun.

Meski hampir pukul 10 malam, Lintas Pantura hingga Cibitung dipadati antrian kendaraan namun roda 2 dapat menembusnya dengan mudah. Cibitung hingga Cikampek lancar, dan kemacetan kembali terlihat pada ruas Jomin akibat kepadatan kendaraan yang keluar dari Tol Cikampek.
Kurang lebih 2 jam perjalanan dari Cibitung, saya masuk ke SPBU Cimaung Sadang. Niatnya rehat kopi, tapi ngantuk begitu dahsyat menyerang. Ya sudah, bangku panjang beralas kardus dan bantal lipatan rompi jaket mengantar saya ke dunia mimpi.

Menjelang pukul 3 dini hari, saya terbangun dan kembali menyiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan. Jalan menuju kota Subang tampak sepi dari lalulintas. Angin dingin yang menerpa tubuh dan wajah menemani saya sepanjang perjalanan. Selepas Subang, jalan menanjak tinggi hingga Cijambe. Sesekali saya melirik bulan yang mulai condong ke barat. Purnama yang indah saat itu. Bulan bagaikan bola putih yang bertengger arogan di atas perbukitan.

Di Pertigaan Tugu Nanas Jalan Cagak, saya belokkan motor ke kiri memasuki jalur alternatif menuju Sumedang. Angin terasa semakin dingin bagai menusuk hingga ke tulang. Kondisi cuaca tampak berubah, rupanya selepas Cisalak, kabut padat menghalangi pandangan. Saya turunkan kecepatan karena jarak pandang ke depan begitu pendek. Sorot lampu tambahan pada motor tak mampu menembus kabut.

Melewati Tanjung Siang kabut menghilang. Dan alam seakan menggoda sesampainya saya di Tanjung Kerta. Langit di sisi kiri tampak memerah menerangi Gunung Tampomas. Saya harus berhenti, menunggu Sang Fajar muncul di ufuk timur.


Dataran tinggi Kabupaten Sumedang pagi itu mengantarkan anugrah Tuhan lewat pesona alamnya. Kesejukan udara dan hijaunya lingkungan pegunungan membuat mata, pikiran dan hati terasa damai.


Perjalanan kembali saya lanjutkan. Di sepanjang jalan menuju Kota Sumedang, irama kehidupan pedesaan yang harmoni membuka pagi yang cerah. Penduduk desa yang ramah tampak mulai keluar dari rumah mereka. Ada yang ke sawah, ada yang menyapu membersihkan halaman, ada yang sabar mengantri hasil karya nenek Sang Penjual Serabi, ada pula yang tampak melipat tangan di tepi jalan menunggu angkutan yang akan mengantarnya ke tempat kerja.


Meski hanya melihat dan tak singgah, tapi saya akan merindukan suasana seperti itu.
Foto-foto lain  dalam episode Keindahan Alam Sumedang:


Bersambung ke Membuka Hari di Wado Malangbong - Pangandaranaway Batu Karas Episode 2

Wednesday, May 2, 2012

Ciwidey Saguling Sesi Mudik 2011 Episode 6


Kampung Strawberry, Agrowisata di Ciwidey
Minggu, 4 September 2011. Kami cek out dari Pondok Gembyang sekitar pukul 12. Jalan di depan
penginapan sudah terhalang antrian kendaraan yang naik menuju area wisata Ciwidey. Perut sudah mulai keroncongan dan resto terdekat di Kampung Strawberry jadi tempat singgah kami selanjutnya. Selesai makan, kami melangkah menuju front-office bertanya sedikit mengenai penginapan Kampung Strawberry dan melihat vila serta fasilitasnya.




Sekarang saatnya pulang mengarah ke Jakarta. Dreamer kembali saya pacu menuruni Ciwidey menuju Soreang. Arah turun cukup lancar, sesekali kami menyusul angkot dan delman yang melaju lebih lambat.
Sampai jalan raya Soreang ada petunjuk jalan menuju Cililin. Aha, ini dia pikir saya, kalau bisa ke Cililin pasti bisa ke Saguling terus tembus ke Cianjur.
Di perempatan ambil jalur yang ke kiri melewati Pemkab Soreang, lalu belok kanan masuk jalan raya Soreang - Cipatik. Di jalan ini, Stadion Jalak Harupat tampak ada di sisi kiri jalan.
Kami terus menelusuri lintas Soreang - Cipatik sampai pertigaan Citapen, kami ambil yang lurus ke arah Cililin - Gunung Halu, kalau ke kanan itu ke Batujajar - Cimareme.

Sepanjang jalan menuju Cililin - Ranca Panggung, boncenger berkali-kali mencolek bahu saya kemudian menunjuk rambu petunjuk jalan Gunung Halu - Curug Malela yang tampak searah dengan tujuan. Saya membalas dengan acungan jempol, "Lain kali Dee.. klo ke Curug Malela, 'kan besok kita sudah masuk kerja" demikian jawab saya dalam hati.
Setelah melewati Cililin kemudian Ranca Panggung, di pertigaan pasar kami belok kanan masuk jalan PLTA Saguling, jalannya lebih kecil namun lebih lenggang. Sampai Warung Awi menuju Cijenuk kondisi jalannya mulai rusak dan berlobang di sana-sini sehingga memperlambat waktu tempuh.
Debu-debu tanah beterbangan akibat kemarau, motor saya pacu lambat mengingat jalan tersebut melewati banyak rumah penduduk. Akhirnya kami sampai di pertigaan jalan belok kanan memasuki jalan raya Cipongkor yang super lebar. Jalan selebar 8 meter ini nantinya akan membentang sepanjang 33 KM dari Cipongkor ke Rongga yang dipergunakan untuk akses pembangunan
PLTA Cisokan. Di sini saya terpuaskan karena dapat memacu motor pada jalan besar yang sepi menanjak maupun menurun dengan tikungan-tikungan lebar.
Sekitar pukul 15, kami tiba di Saguling, sebuah bangunan konstruksi besar buatan manusia
membendung sungai Citarum hingga membentuk waduk. Kendaraan R2 bisa melewati jalan di atas bendungan ini. Spot yang bagus buat berfoto-foto.




Di Saguling kami istirahat ngopi, melepas penat dan ngumpulin tenaga buat perjalanan kembali ke Jakarta. Dalam perjalanan turun dari Saguling ke Raja Mandala, kami cukup puas ternyata banyak spot-spot menarik yang bisa dilihat sambil berkendara.
Arus balik belum begitu padat, lalulintas cukup lancar, jalur puncak satu arah mempercepat arus
menuju Ciawi. Sesampainya di Bogor, sekali lagi kami beristirahat untuk makan malam di Warung Bu Mimin, salah satu warung makan yang terletak berderet di sepanjang Jalan Pajajaran sebelum Terminal Baranangsiang.
Alhamdulillah, kami tiba dengan selamat sampai dirumah. Sebelum menutup artikel ini, ada satu yang saya dapat. Mudik jangan hanya dijadikan sebagai perjalanan rutin tahunan mengunjungi sanak famili di tanah kelahiran, tapi buatlah momen ini menjadi lebih menarik dan mempunyai nilai tambah.
Berbagi cerita dengan yang lain semoga bukan dianggap pamer melainkan wujud rasa bahagia bisa melihat Indonesia yang indah, dan semoga yang lain dapat merasakan apa yang kami alami.
Salam Nusantaride
Kembali ke Kawah Putih Situ Patenggang Sesi Mudik 2011 Episode 5

Kawah Putih Situ Patenggang Sesi Mudik 2011 Episode 5


Situ Patenggang, danau dengan mitos yang melegenda, merefleksikan keabadian cinta.

Lokasi Wisata Situ Patenggang hanya berjarak sekitar 20 menit berkendara dari kawah Putih. Banyak lokasi wisata lainnya di sepanjang perjalanan ke Situ Patenggang yang hanya kami lewati saja, Ranca Upas, Situ Tunduh, Ranca Walini. Jalan berliku menuruni ketinggian melewati hutan dan perkebunan teh. Hijau dan hijau di kiri kanan jalan.


Untuk dapat memasuki kawasan wisata ini, kami dikenai biaya masuk 15 ribu rupiah, tidak jelas perinciannya buat apa, tidak pentinglah jadi kami bayar saja. Setelah memarkir motor, saya dan istri melangkah menuju tepian Situ Patenggang.
Hari belum beranjak naik, bulannya mungkin pas dan cuaca sangat cerah membuat keindahan pemandangan Situ Patenggang dan sekitarnya langsung dicerna mata diproses oleh otak menjadi sebuah kepuasan. Seolah tak ada pengunjung lain, kami merasakan nyaman, damai dan bahagia.
Inilah Situ Patenggang, danau dengan mitos yang melegenda, merefleksikan keabadian cinta.

Tak kenal maka tak sayang... pelaku utama hadir untuk pasang aksi :)



Sayang waktu liburan ini begitu singkat, ingin sekali kami menjelajahi daerah Bandung Selatan yang menyimpan banyak keindahan. Mungkin di lain kesempatan.
Sebelum matahari naik di atas kepala, kami tinggalkan Situ Patenggang.

Kami kembali ke penginapan untuk mengepak bawaan kami untuk selanjutnya pulang ke Jakarta. Namanya musim liburan, saat menuju penginapan, jalan sudah kembali macet. Bus-bus besar mengangkut wisatawan lokal dari Bandung dan Jakarta tampak sudah memenuhi jalur.

Bersambung ke Ciwidey Saguling Jakarta Sesi Mudik 2011 Episode 6
Kembali ke Ciwidey Kawah Putih Sesi Mudik 2011 Episode 4

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Dedicated for Nusantaride | Designed by Info Mancing